Antara Cinta Rasul dan Maulid Nabi
Cinta terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam merupakan salah satu
syarat beriman kepadanya, bahkan kecintaan
kepada beliau harus melebihi segala kecintaan pada makhluk lainnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, “Tidak sempurna iman salah
seorang di antara kalian, sampai aku lebih dia cintai daripada anaknya,
orangtuanya, dan manusia seluruhnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ketika Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu menggambarkan kecintaannya kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam, dan menempatkan posisi cintanya
kepada beliau di bawah kecintaannya terhadap dirinya sendiri, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wasallam menafikan kesempurnaan imannya hingga dia
menjadikan cintanya kepada beliau di atas segala-galanya.
Setiap orang berhak untuk mengklaim dirinya sebagai pencinta Nabi Shallallahu
‘alaihi Wasallam, namun klaim tersebut tidak akan bermanfaat jika tidak
dibuktikan dengan ittiba’ (mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam), taat
dan berpegang teguh pada petunjuknya. Klaim cinta kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi Wasallam tidak dapat diterima dengan sekadar memeringati hari kelahiran
beliau.
Sejarah Peringatan Maulid Nabi
Dalam sejarah pun, motivasi orang-orang yang mula-mula
melakukan peringatan maulid nabi (pengikut mazhab Bathiniyyah), bukan didasari
rasa cinta kepada beliau, tapi untuk tujuan politis.
Pelopor pertama peringatan maulid nabi adalah Bani Ubaid al-Qaddaah atau yang
lebih dikenal dengan al-Fathimiyyun atau Bani Fathimiyyah pada
pertengahan abad ke empat Hijriyah, setelah berhasil memindahkan dinasti
Fathimiyah dari Maroko ke Mesir pada tahun 362 H.
Perayaan maulid diadakan untuk menarik simpati masyarakat yang mayoritasnya
berada dalam kondisi ekonomi yang sangat terpuruk untuk mendukung kekuasaannya
dan masuk ke dalam mazhab bathiniyahnya yang sangat menyimpang dari akidah,
bahkan bertentangan dengan Islam.
Pakar sejarah yang bernama Al Maqrizy menjelaskan bahwa begitu banyak perayaan
yang dilakukan oleh Fatimiyyun dalam setahun.
Beliau menyebutkan kurang lebih 25 perayaan yang rutin dilakukan setiap tahun
dalam masa kekuasaannya, termasuk di antaranya adalah peringatan maulid Nabi.
Tidak hanya perayaan-perayaan Islam tapi lebih parah lagi, mereka juga
mengadakan peringatan hari raya orang-orang Majusi dan Nashrani yaitu hari
Nauruz (tahun baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), dan hari
Khomisul ‘Adas (perayaan tiga hari sebelum Paskah).
Kenyataan sejarah peringatan maulid yang tidak ditemukan pada masa Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wasallam dan masa tiga generasi yang disebut oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam sebagai generasi terbaik umat ini,
menyebabkan banyak di antara ulama yang mengingkarinya dan memasukkannya ke
dalam bid'ah haram.
Tak dipungkiri, di antara ulama ada yang menganggapnya sebagai bid'ah hasanah,
inovasi yang baik, selama tidak dibarengi dengan kemungkaran. Pendapat ini
diwakili antara lain oleh Ibnu Hajar al Atsqolani dan as-Suyuti. Keduanya
mengatakan bahwa status hukum maulid nabi adalah bid’ah mahmudah (bid’ah
terpuji). Tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam,
tetapi keberadaannya membawa maslahat walaupun juga tidak lepas dari berbagai
mudharat.
Keabsahan peringatan maulid nabi bagi mereka disandarkan pada dalil umum yang tidak
berhubungan langsung dengan titik permasalahan, sedangkan para ulama yang
menentangnya membangun argumen-tasinya melalui pendekatan normatif tekstual
yang tidak ditemukan baik secara tersurat maupun secara tersirat dalam al Quran
dan juga al hadits, dan diperkuat dengan kaedah umum dalam ibadah yang menuntut
adanya dalil spesifik yang menunjang disyariatkannya suatu ibadah.
Hujjah Pendukung Peringatan Maulid
Para pendukung maulid berusaha mencari dalil untuk
melegitimasi bolehnya peringatan maulid tersebut, antara lain:
Pertama: Sikap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam ketika
mendapatkan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Puasa tersebut adalah
ungkapan syukur kepada Allah Azza Wajalla atas keselamatan Nabi Musa dari
kejaran Fir’aun. Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam pun menyerukan untuk
berpuasa pada hari tersebut.
Peringatan maulid nabi, menurut Ibn Hajar dan as-Suyuti
merupakan ungkapan syukur atas diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
Wasallam ke muka bumi.
Hujjah ini ditolak oleh ulama lainnya. Mereka menganggapnya sebagai alasan yang
dipaksakan, mengingat dasar suatu ibadah adalah adanya dalil yang
memerintahkannya dan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam,
bukan pada logika, analogi dan istihsan.
Puasa asyura termasuk sunnah yang telah dipraktikkan dan diserukan oleh Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wasallam, sedangkan peringatan maulid tidak pernah
dilakukan apalagi diserukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam.
Sebaliknya, beliau telah mewanti-wanti ummatnya dari kreasi-kreasi bid'ah,
seperti dalam sabdanya, "Jauhilah amalan yang tidak aku contohkan
(bid`ah), karena setiap bid`ah sesat." (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Benar bahwa kita dituntut untuk senantiasa mensyukuri nikmat Allah Subhaanahu
Wata’ala, dan nikmat terbesar yang tercurah pada ummat ini adalah diutusnya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam sebagai seorang rasul, bukan saat
dilahirkannya. Karenanya, al Qur'an menyebut pengutusan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wasallam sebagai nikmat, "Sungguh Allah telah memberikan karunia
kepada orang-orang beriman ketika Allah mengutus kepada mereka seorang Rasul di
tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri." (QS. Ali Imran: 164).
Ayat ini sama sekali tidak menyinggung kelahiran beliau dan menyebutnya sebagai
nikmat. Seandainya peringatan tersebut dibolehkan, seharusnya yang diperingati
adalah hari ketika beliau dibangkitkan menjadi nabi, bukan hari kelahirannya.
Lagi pula, status Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam yang mensyariatkan puasa
Asyura' berbeda dengan status umatnya. Beliau adalah musyarri' (pembuat
syariat), adapun umatnya hanya muttabi' (pengikut), sehingga tak dapat
disamakan dan dianalogikan dengan beliau.
Dan sekiranya peringatan maulid merupakan bentuk syukur kepada Allah, tentu
tiga generasi terbaik, serta para imam mazhab yang empat tidak ketinggalan
untuk melakukan peringatan tersebut, sebab mereka adalah orang-orang yang
pandai bersyukur, sangat cinta pada Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam, dan
sangat antusias melakukan berbagai kebaikan.
Hal yang juga mengundang tanya, mengapa ungkapan rasa syukur, penghormatan dan
pengagungan pada Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam hanya sekali dalam setahun,
12 Rabi’ul Awwal saja? Bukankah bersyukur kepada Allah, mengagungkan dan
mencintai Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam dituntut setiap saat dengan menaati
dan selalu ittiba’ pada sunnahnya?
Kedua: Nabi memeringati hari kelahirannya dengan berpuasa
Sebagian beralasan dengan puasa seninnya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wasallam yang merupakan hari kelahirannya. Ketika beliau
Shallallahu ‘alaihi Wasallam ditanya mengenai puasa Senin, beliau pun menjawab,
“Hari tersebut adalah hari kelahiranku, hari aku diangkat sebagai Rasul atau
pertama kali aku menerima wahyu.” (HR. Muslim). Ini menunjukkan bolehnya
memeringati hari kelahirannya.
Alasan ini juga tidak dapat diterima, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam
tidak pernah puasa pada tanggal yang diklaim sebagai kelahirannya, 12 Rabi'ul
Awwal. Yang beliau lakukan adalah puasa pada hari Senin. Seharusnya kalau ingin
mengenang hari kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam dengan dalil di
atas, maka perayaan maulid diadakan tiap pekan, bukan sekali setahun. Selain
itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam juga tidak berpuasa hanya pada hari
Senin setiap pekan, tapi juga hari Kamis. Alasan beliau, "Keseluruhan
amalan diperhadapkan kepada Allah pada hari Senin dan Kamis sehingga aku senang
amalanku diperhadapkan kepada Allah sedang aku dalam keadaan berpuasa."
(HR. Ahmad dan at-Tirmidzi).
Sehingga berdalih dengan puasa senin tanpa hari kamis termasuk takalluf dan
dibuat-buat. Dan kalau alasan tersebut dapat diterima, mestinya pering-atannya
dilakukan dalam bentuk puasa, bukan berfoya-foya dan makan-makan.
Ketiga: Peringatan maulid nabi dianggap sebagai bid’ah hasanah
(bid’ah yang baik). Anggapan ini lahir dari klasifikasi sebahagian ulama
terhadap bid'ah menjadi bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyi’ah (jelek) atau
dholalah (sesat).
Alasan ini dibantah oleh sebagian ulama bahwa peringatan maulid Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wasallam tidak dapat diterima sebagai bid'ah hasanah,
karena dalam hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam tidak dikenal sama
sekali adanya bid’ah hasanah. Bahkan yang dikatakan oleh Nabi Shallallahu
‘alaihi Wasallam dan diyakini oleh sahabat adalah setiap bid’ah sesat.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, “Amma ba’du.
Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk
adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Sejelek-jelek perkara
adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR.
Muslim).
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ikutilah (petunjuk Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wasallam), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu
sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat” (HR. ath-Thabrani dan al
Haitsami).
Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu menyatakan, “Setiap bid’ah adalah sesat,
walaupun manusia menganggapnya baik.” (Al Ibanah al Kubro libni Baththoh,
1/219).
Keempat: Peringatan Maulid merupakan salah satu sarana untuk lebih
mengenal sosok Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam.
Tidak ada perselisihan di kalangan
ulama tentang pentingnya mengenal sosok Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
Wasallam. Hanya saja, sebagian di antara mereka tidak menerima suatu bid'ah
dipoles menjadi sarana kebaikan, karena tujuan yang baik tidak dapat dijadikan
alasan untuk menghalalkan segala cara. Lagi pula, mengenal sosok beliau
tidaklah pantas dibatasi oleh bulan atau tanggal tertentu. Jika ia dibatasi
oleh waktu tertentu, apalagi dengan cara tertentu pula, maka sudah masuk ke
dalam lingkup bid’ah. Lebih dari itu, upaya mengenal sosok beliau lewat
peringatan maulid merupakan salah satu bentuk tasyabbuh (meniru-niru)
orang-orang Nashrani yang merayakan kelahiran Nabi Isa Alaihissalam melalui
natalan. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, “Barangsiapa yang
menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan
Abu Dawud).
Mengenal sosok Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam dengan membaca dan
mengkaji sirah, biografi dan sunnah beliau seharusnya dilakukan sepanjang
waktu, sebagaimana para sahabat mengajarkannya kepada anak-anak mereka setiap
waktu.
Seharusnya cinta Nabi dibuktikan dengan meneladani dan mengikuti sunnah-sunnah
beliau, bukan dengan menyelisihi perintah atau melakukan sesuatu yang tidak ada
tuntunannya.
Wallahu A’laa wa A’lamu bis-shawab
(Diringkas dari risalah Antara Cinta
Rasul dan Maulid Nabi. Ustadz Abu Yahya Salahuddin Guntung, Lc.)
Cinta terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam merupakan salah satu
syarat beriman kepadanya, bahkan kecintaan
kepada beliau harus melebihi segala kecintaan pada makhluk lainnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, “Tidak sempurna iman salah
seorang di antara kalian, sampai aku lebih dia cintai daripada anaknya,
orangtuanya, dan manusia seluruhnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ketika Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu menggambarkan kecintaannya kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam, dan menempatkan posisi cintanya
kepada beliau di bawah kecintaannya terhadap dirinya sendiri, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wasallam menafikan kesempurnaan imannya hingga dia
menjadikan cintanya kepada beliau di atas segala-galanya.
Setiap orang berhak untuk mengklaim dirinya sebagai pencinta Nabi Shallallahu
‘alaihi Wasallam, namun klaim tersebut tidak akan bermanfaat jika tidak
dibuktikan dengan ittiba’ (mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam), taat
dan berpegang teguh pada petunjuknya. Klaim cinta kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi Wasallam tidak dapat diterima dengan sekadar memeringati hari kelahiran
beliau.
Sejarah Peringatan Maulid Nabi
Dalam sejarah pun, motivasi orang-orang yang mula-mula
melakukan peringatan maulid nabi (pengikut mazhab Bathiniyyah), bukan didasari
rasa cinta kepada beliau, tapi untuk tujuan politis.
Pelopor pertama peringatan maulid nabi adalah Bani Ubaid al-Qaddaah atau yang
lebih dikenal dengan al-Fathimiyyun atau Bani Fathimiyyah pada
pertengahan abad ke empat Hijriyah, setelah berhasil memindahkan dinasti
Fathimiyah dari Maroko ke Mesir pada tahun 362 H.
Perayaan maulid diadakan untuk menarik simpati masyarakat yang mayoritasnya
berada dalam kondisi ekonomi yang sangat terpuruk untuk mendukung kekuasaannya
dan masuk ke dalam mazhab bathiniyahnya yang sangat menyimpang dari akidah,
bahkan bertentangan dengan Islam.
Pakar sejarah yang bernama Al Maqrizy menjelaskan bahwa begitu banyak perayaan
yang dilakukan oleh Fatimiyyun dalam setahun.
Beliau menyebutkan kurang lebih 25 perayaan yang rutin dilakukan setiap tahun
dalam masa kekuasaannya, termasuk di antaranya adalah peringatan maulid Nabi.
Tidak hanya perayaan-perayaan Islam tapi lebih parah lagi, mereka juga
mengadakan peringatan hari raya orang-orang Majusi dan Nashrani yaitu hari
Nauruz (tahun baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), dan hari
Khomisul ‘Adas (perayaan tiga hari sebelum Paskah).
Kenyataan sejarah peringatan maulid yang tidak ditemukan pada masa Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wasallam dan masa tiga generasi yang disebut oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam sebagai generasi terbaik umat ini,
menyebabkan banyak di antara ulama yang mengingkarinya dan memasukkannya ke
dalam bid'ah haram.
Tak dipungkiri, di antara ulama ada yang menganggapnya sebagai bid'ah hasanah,
inovasi yang baik, selama tidak dibarengi dengan kemungkaran. Pendapat ini
diwakili antara lain oleh Ibnu Hajar al Atsqolani dan as-Suyuti. Keduanya
mengatakan bahwa status hukum maulid nabi adalah bid’ah mahmudah (bid’ah
terpuji). Tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam,
tetapi keberadaannya membawa maslahat walaupun juga tidak lepas dari berbagai
mudharat.
Keabsahan peringatan maulid nabi bagi mereka disandarkan pada dalil umum yang tidak
berhubungan langsung dengan titik permasalahan, sedangkan para ulama yang
menentangnya membangun argumen-tasinya melalui pendekatan normatif tekstual
yang tidak ditemukan baik secara tersurat maupun secara tersirat dalam al Quran
dan juga al hadits, dan diperkuat dengan kaedah umum dalam ibadah yang menuntut
adanya dalil spesifik yang menunjang disyariatkannya suatu ibadah.
Hujjah Pendukung Peringatan Maulid
Para pendukung maulid berusaha mencari dalil untuk
melegitimasi bolehnya peringatan maulid tersebut, antara lain:
Pertama: Sikap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam ketika
mendapatkan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Puasa tersebut adalah
ungkapan syukur kepada Allah Azza Wajalla atas keselamatan Nabi Musa dari
kejaran Fir’aun. Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam pun menyerukan untuk
berpuasa pada hari tersebut.
Peringatan maulid nabi, menurut Ibn Hajar dan as-Suyuti
merupakan ungkapan syukur atas diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
Wasallam ke muka bumi.
Hujjah ini ditolak oleh ulama lainnya. Mereka menganggapnya sebagai alasan yang
dipaksakan, mengingat dasar suatu ibadah adalah adanya dalil yang
memerintahkannya dan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam,
bukan pada logika, analogi dan istihsan.
Puasa asyura termasuk sunnah yang telah dipraktikkan dan diserukan oleh Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wasallam, sedangkan peringatan maulid tidak pernah
dilakukan apalagi diserukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam.
Sebaliknya, beliau telah mewanti-wanti ummatnya dari kreasi-kreasi bid'ah,
seperti dalam sabdanya, "Jauhilah amalan yang tidak aku contohkan
(bid`ah), karena setiap bid`ah sesat." (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Benar bahwa kita dituntut untuk senantiasa mensyukuri nikmat Allah Subhaanahu
Wata’ala, dan nikmat terbesar yang tercurah pada ummat ini adalah diutusnya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam sebagai seorang rasul, bukan saat
dilahirkannya. Karenanya, al Qur'an menyebut pengutusan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wasallam sebagai nikmat, "Sungguh Allah telah memberikan karunia
kepada orang-orang beriman ketika Allah mengutus kepada mereka seorang Rasul di
tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri." (QS. Ali Imran: 164).
Ayat ini sama sekali tidak menyinggung kelahiran beliau dan menyebutnya sebagai
nikmat. Seandainya peringatan tersebut dibolehkan, seharusnya yang diperingati
adalah hari ketika beliau dibangkitkan menjadi nabi, bukan hari kelahirannya.
Lagi pula, status Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam yang mensyariatkan puasa
Asyura' berbeda dengan status umatnya. Beliau adalah musyarri' (pembuat
syariat), adapun umatnya hanya muttabi' (pengikut), sehingga tak dapat
disamakan dan dianalogikan dengan beliau.
Dan sekiranya peringatan maulid merupakan bentuk syukur kepada Allah, tentu
tiga generasi terbaik, serta para imam mazhab yang empat tidak ketinggalan
untuk melakukan peringatan tersebut, sebab mereka adalah orang-orang yang
pandai bersyukur, sangat cinta pada Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam, dan
sangat antusias melakukan berbagai kebaikan.
Hal yang juga mengundang tanya, mengapa ungkapan rasa syukur, penghormatan dan
pengagungan pada Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam hanya sekali dalam setahun,
12 Rabi’ul Awwal saja? Bukankah bersyukur kepada Allah, mengagungkan dan
mencintai Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam dituntut setiap saat dengan menaati
dan selalu ittiba’ pada sunnahnya?
Kedua: Nabi memeringati hari kelahirannya dengan berpuasa
Sebagian beralasan dengan puasa seninnya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wasallam yang merupakan hari kelahirannya. Ketika beliau
Shallallahu ‘alaihi Wasallam ditanya mengenai puasa Senin, beliau pun menjawab,
“Hari tersebut adalah hari kelahiranku, hari aku diangkat sebagai Rasul atau
pertama kali aku menerima wahyu.” (HR. Muslim). Ini menunjukkan bolehnya
memeringati hari kelahirannya.
Alasan ini juga tidak dapat diterima, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam
tidak pernah puasa pada tanggal yang diklaim sebagai kelahirannya, 12 Rabi'ul
Awwal. Yang beliau lakukan adalah puasa pada hari Senin. Seharusnya kalau ingin
mengenang hari kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam dengan dalil di
atas, maka perayaan maulid diadakan tiap pekan, bukan sekali setahun. Selain
itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam juga tidak berpuasa hanya pada hari
Senin setiap pekan, tapi juga hari Kamis. Alasan beliau, "Keseluruhan
amalan diperhadapkan kepada Allah pada hari Senin dan Kamis sehingga aku senang
amalanku diperhadapkan kepada Allah sedang aku dalam keadaan berpuasa."
(HR. Ahmad dan at-Tirmidzi).
Sehingga berdalih dengan puasa senin tanpa hari kamis termasuk takalluf dan
dibuat-buat. Dan kalau alasan tersebut dapat diterima, mestinya pering-atannya
dilakukan dalam bentuk puasa, bukan berfoya-foya dan makan-makan.
Ketiga: Peringatan maulid nabi dianggap sebagai bid’ah hasanah
(bid’ah yang baik). Anggapan ini lahir dari klasifikasi sebahagian ulama
terhadap bid'ah menjadi bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyi’ah (jelek) atau
dholalah (sesat).
Alasan ini dibantah oleh sebagian ulama bahwa peringatan maulid Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wasallam tidak dapat diterima sebagai bid'ah hasanah,
karena dalam hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam tidak dikenal sama
sekali adanya bid’ah hasanah. Bahkan yang dikatakan oleh Nabi Shallallahu
‘alaihi Wasallam dan diyakini oleh sahabat adalah setiap bid’ah sesat.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, “Amma ba’du.
Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk
adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Sejelek-jelek perkara
adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR.
Muslim).
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ikutilah (petunjuk Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wasallam), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu
sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat” (HR. ath-Thabrani dan al
Haitsami).
Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu menyatakan, “Setiap bid’ah adalah sesat,
walaupun manusia menganggapnya baik.” (Al Ibanah al Kubro libni Baththoh,
1/219).
Keempat: Peringatan Maulid merupakan salah satu sarana untuk lebih
mengenal sosok Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam.
Tidak ada perselisihan di kalangan
ulama tentang pentingnya mengenal sosok Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
Wasallam. Hanya saja, sebagian di antara mereka tidak menerima suatu bid'ah
dipoles menjadi sarana kebaikan, karena tujuan yang baik tidak dapat dijadikan
alasan untuk menghalalkan segala cara. Lagi pula, mengenal sosok beliau
tidaklah pantas dibatasi oleh bulan atau tanggal tertentu. Jika ia dibatasi
oleh waktu tertentu, apalagi dengan cara tertentu pula, maka sudah masuk ke
dalam lingkup bid’ah. Lebih dari itu, upaya mengenal sosok beliau lewat
peringatan maulid merupakan salah satu bentuk tasyabbuh (meniru-niru)
orang-orang Nashrani yang merayakan kelahiran Nabi Isa Alaihissalam melalui
natalan. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, “Barangsiapa yang
menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan
Abu Dawud).
Mengenal sosok Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam dengan membaca dan
mengkaji sirah, biografi dan sunnah beliau seharusnya dilakukan sepanjang
waktu, sebagaimana para sahabat mengajarkannya kepada anak-anak mereka setiap
waktu.
Seharusnya cinta Nabi dibuktikan dengan meneladani dan mengikuti sunnah-sunnah
beliau, bukan dengan menyelisihi perintah atau melakukan sesuatu yang tidak ada
tuntunannya.
Wallahu A’laa wa A’lamu bis-shawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar