jam kasik

terima kasih telah mengunjungi bloggers saya

Selasa, 13 November 2012


CABANG-CABANG IMAN 

Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam bersabda,

"Iman itu lebih dari enam puluh cabang. Cabang yang paling utama adalah ucapan, 'Laa ilaaha illallah' dan cabang yang paling rendah yaitu menyingkirkan kotoran dari jalan". (HR. Muslim)
Al-Hafizh Ibnu Hajar telah meringkas hal tersebut dalam kitab-nya Fathul Baari, sesuai keterangan Ibnu Hibban, beliau berkata, "Cabang-cabang ini terbagi dalam amalan hati, lisan dan badan". 
  1.  Amalan Hati:

    Adapun amalan hati adalah berupa i'tikad dan niat. Dan ia terdiri dari dua puluh empat sifat (cabang); iman kepada Allah, termasuk di dalamnya iman kepada Dzat dan Sifat-sifatNya serta pengesaan bahwasanya Allah adalah:

    "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dialah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat". (As-Syuraa: 11)

    Serta ber'itikad bahwa selainNya adalah baru, makluk. Beriman kepada Allah, beriman kepada malaikat-malaikat, kitab-kitab dan para rasulNya. Beriman kepada qadar (ketentuan) Allah, yang baik mau-pun yang buruk.

    Beriman kepada hari Akhirat: Termasuk di dalamnya pertanyaan di dalam kubur, kenikmatan dan adzabNya, kebangkitan dan pengum-pulan di Padang Mahsyar, hisab (perhitungan amal), mizan (tim-bangan amal), shirath (titian di atas Neraka), Surga dan Neraka.

    Kecintaan kepada Allah, cinta dan marah karena Allah. Ke-cintaan kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam dan yakin atas keagungan beliau, termasuk di dalamnya bershalawat atas Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam dan mengikuti sunnahnya.

    Ikhlas, termasuk di dalamnya meninggalkan riya dan nifaq. Taubat dan takut, berharap, syukur dan menepati janji, sabar, ridha dengan qadha dan qadhar, tawakkal, kasih sayang dan tawadhu (rendah hati), termasuk di dalamnya menghormati yang tua, mengasihi yang kecil, meninggalkan sifat sombong dan bangga diri, mening-galkan dengki, iri hati dan emosi.
     
  2.  Perbuatan Lisan:

    Ia terdiri dari tujuh cabang: Mengucapkan kalimat tauhid, yaitu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak di sembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah rasul Allah, membaca Al-Qur'an, belajar ilmu dan mengajarkannya, berdo'a, dzikir, termasuk di dalamnya istighfar (memohon ampun kepada Allah), bertasbih (mengucapkan, "Subhanallah", dan menjauhi perkataan yang sia-sia.
     
  3.  Amalan Badan:

    Ia terdiri dari tiga puluh delapan cabang: 
    1.  Yang berkaitan dengan materi.
      Bersuci baik secara lahiriyah maupun hukumiah: termasuk di dalamnya menjauhi barang-barang najis, menutup aurat, shalat fardhu dan sunnat, zakat, memerdekakan budak.

      Dermawan: termasuk di dalamnya memberikan makan orang lain, memuliakan tamu. Puasa baik fardhu maupun sunnat, i'tikaf, mencari lailatul qadar, haji, umrah dan thawaf.

      Lari dari musuh untuk mempertahankan agama: termasuk di dalamnya hijrah dari negeri musyrik ke negeri iman. Memenuhi nadzar, berhati-hati dalam soal sumpah (yakni bersumpah dengan nama Allah secara jujur, hanya ketika sangat membutuhkan hal itu), memenuhi kaffarat (denda), misalnya kaffarat sumpah, kaffarat hubungan suami-istri di bulan Ramadhan.
       
    2.  Yangberkaitan dengan nafsu.
      Ia terdiri dari enam cabang: menjaga diri dari perbuatan maksiat (zina) dengan menikah, memenuhi hak-hak keluarga, berbakti kepada kedua orang tua: termasuk di dalamnya tidak mendurhakainya, mendidik anak.

      Silaturahim, taat kepada penguasa (dalam hal-hal yang tidak merupakan maksiat kepada Allah), dan kasih sayang kepada hamba sahaya.
       
    3.  Yang berkaitan dengan hal-hal umum:

      Ia terdiri dari tujuh belas cabang: menegakkan kepemimpinan secara adil, mengikuti jama'ah, taat kepada ulil amri, melakukan ishlah (perbaikan dan perdamaian) di antara manusia termasuk di dalamnya memerangi orang-orang Khawarij dan para pemberontak. Tolong-menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan, termasuk di dalam-nya amar ma'ruf nahi munkar (memerintahkan kebaikan dan melarang dari kemungkaran), melaksanakan hudud (hukuman-hukuman yang telah ditetapkan Allah).

      Jihad, termasuk di dalamnya menjaga wilayah Islam dari serangan musuh, melaksanakan amanat, di antaranya merealisasikan pembagian seperlima dari rampasan perang: Utang dan pembayaran, memuliakan tetangga, bergaul secara baik, termasuk di dalamnya mencari harta secara halal. Menginfakkan harta pada yang berhak, termasuk di dalamnya meninggalkan sikap boros dan foya-foya. Men-jawab salam, mendo'akan orang bersin yang mengucapkan alham-dulillah, mencegah diri dari menimpakan bahaya kepada manusia, menjauhi perkara yang tidak bermanfaat serta menyingkirkan kotoran yang mengganggu manusia dari jalan.

      Hadits di muka menunjukkan, bahwa tauhid (kalimat laa ilaaha illallah) adalah cabang iman yang paling tinggi dan paling utama.
      Oleh karena itu, para da'i hendaknya memulai dakwahnya dari cabang iman yang paling utama, kemudian baru cabang-cabang lain yang ada di bawahnya. Dengan kata lain, membangun fondasi terlebih dahulu (tauhid), sebelum mendirikan bangunan (cabang-cabang iman yang lain). Mendahulukan hal yang terpenting, kemudian disusul hal-hal yang penting.
Tauhid adalah yang mempersatukan bangsa Arab dan bangsa asing lainnya atas dasar Islam. Dari persatuan itu, tegaklah Daulah Islamiyah sebagai Daulah Tauhid.

Senin, 12 November 2012


Menyikapi Tahun Baru

Dalih toleransi sering dijadikan alasan sebagian kaum Muslimin untuk turut berpartisipasi dalam perayaan hari-hari besar agama lain. Padahal, hari raya adalah masalah agama dan akidah, bukan masalah keduniaan, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dalam sabda beliau kepada Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu pada hari Idul Fitri,
 إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيْدًا وَهَذَا عِيْدُنَا
”Setiap kaum memiliki hari raya, dan ini (Idul Fitri) adalah hari raya kita.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dengan demikian, turut merayakannya berarti ikut serta dalam ritual ibadah mereka. Dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah bersabda, “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR.  Abu Dawud, dan dinyatakan hasan shahih oleh Al-Albani).

Imam Al-Baihaqi juga meriwayatkan dengan sanad yang baik dari Abdullah bin Amru radhiallahu ‘anhuma beliau pernah berkata,
“Barangsiapa lewat di negeri non Arab, lalu mereka sedang merayakan Hari Nairuz dan festival keagamaan mereka, lalu ia meniru mereka hingga mati, maka demikianlah ia dibangkitkan bersama mereka di Hari Kiamat nanti.” (Lihat Ahkaamu Ahlidz Dzimmah I/723-724).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah—rahimahullah—berkata, “Adapun apabila seorang Muslim menjual kepada mereka pada hari-hari raya mereka segala yang mereka gunakan pada hari raya tersebut, berupa makanan, pakaian, minyak wangi dan lain-lain, atau menghadiahkannya kepada mereka, maka itu termasuk menolong mereka mengadakan hari raya mereka yang diharamkan. Dasarnya adalah kaidah yang mengatakan tidak boleh menjual anggur kepada orang kafir yang jelas digunakan untuk membuat minuman keras. Juga tidak boleh menjual senjata kepada mereka bila digunakan untuk memerangi kaum Muslimin.” Kemudian beliau menukil dari Abdul Malik bin Habib dari kalangan ulama Malikiyyah, “Sudah jelas bahwa kaum Muslimin tidak boleh menjual kepada orang-orang Nashrani sesuatu yang menjadi kebutuhan hari raya mereka, baik itu daging, lauk-pauk atau pakaian. Juga tidak boleh memberikan kendaraan kepada mereka, atau memberikan pertolongan untuk hari raya, karena yang demikian itu termasuk memuliakan kemusyrikan mereka dan menolong mereka dalam kekufuran mereka.” (Al-Iqtidhaa 229-231).

Maka jelas kita bertasyabbuh, meridhai dan berpartisipasi dalam kegiatan mereka, apabila kita bersukaria, berpesta, memakan makanannya, berpartisipasi dalam acara non Muslim, memberi hadiah, memberi ucapan selamat, menjual kartu selamat, menjual segala keperluan hari raya mereka, baik itu lilin, pohon natal, makanan, kalkun, kue dan lain-lainnya.

MENYAMBUT TAHUN BARU
 Entah direncanakan atau sekadar latah, pada malam itu orang-orang seakan secara serempak melonggarkan moralitas dan kesusilaan. Bunyi terompet diselingi gelak tawa (bahkan dengan minuman keras) bersahut-sahutan di setiap tempat. Sepeda motor mengepulkan asap hingga mirip ‘dapur berjalan’ meraung-raung. Mobil-mobil membunyikan klakson sepanjang jalan. Cafe, diskotik dan tempat-tempat hiburan malam sesak padat. Orang-orang ‘tumpah’ di jalanan dengan satu tujuan: merayakan Tahun Baru.

Sebenarnya tahun Masehi adalah tahun yang baru bagi bangsa Indonesia, karena ia tidak memiliki akar kultur dan tradisi dalam sejarah bangsa ini. Ada beberapa faktor yang dapat mendukung anggapan ini.

Pertama, latarbelakang sosio-historis. Berlakunya tahun Masehi tidak bisa dipisahkan dari pengaruh teologi (keagamaan) Kristen, yang dianut oleh masyarakat Eropa. Kalender ini baru diberlakukan di Indonesia pada tahun 1910 ketika berlakunya Wet op het Nederlandsch Onderdaanschap atas seluruh rakyat Hindia Belanda.

Kedua, karena latarbelakang teologis. Sebagaimana diketahui, kalender Gregorian diciptakan sebagai ganti kalender Julian yang dinilai kurang akurat, karena awal musim semi semakin maju, akibatnya, perayaan Paskah  yang sudah disepakati sejak Konsili Nicea I pada tahun 325, tidak tepat lagi.

Kalender Hijriyah, disebut sebagai kalender Islam (at-taqwim al-hijri), karena ditetapkan sejak hijrahnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Ia ditetapkan sebagai tahun Islam setelah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam wafat atas inisiatif Khalifah kedua, Umar bin Khathab Radhiyallahu 'Anhu pada tahun 638 M (17 H). Hijrah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ditetapkan sebagai awal kalender Islam, menyisihkan dua pendapat lainnya, yaitu hari kelahiran Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan hari wafat beliau.

Sejak kedatangan Islam hingga awal abad ke-20, kalender Hijriyah berlaku di nusantara. Bahkan raja Karangasem, Ratu Agung Ngurah yang beragama Hindu, dalam surat-suratnya kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda Otto van Rees yang beragama Nasrani, masih menggunakan tarikh 1313 Hijriyah (1894 M).

Jadi secara historis dan kultural  bangsa kita pun, tahun baru Masehi tidak perlu dirayakan. Terlebih lagi jika ditinjau dari sisi akidah al wala' wal bara' (loyalitas dan pelepasan diri) dalam agama Islam.
Meski demikian, hal ini tidak bisa secara otomatis dijadikan sebagai justifikasi pentingnya merayakan tahun baru Hijriyah yang juga tinggal menghitung hari. Mengingat sejauh ini tidak ditemukan teks agama yang menganjurkan perayaan tahun baru Hijriyah.

ULAMA MENYIKAPI HARI RAYA NON-MUSLIM (NATAL/TAHUN BARU)
Fatwa Syaikh Muhammad Ibn Shalih al Utsaimin—rahimahullah

Pertanyaan:
Apa hukumnya mengucapkan selamat kepada orang kafir pada perayaan hari besar keagamaan mereka? (Misal: Merry Christmas, Selamat hari Natal dan Tahun Baru dst, red.). Dan bagaimana kita menyikapi mereka jika mereka mengucapkan selamat Natal kepada kita. Dan apakah dibolehkan pergi ke tempat-tempat di mana mereka merayakannya? Dan apakah seorang Muslim berdosa jika ia melakukan perbuatan tersebut tanpa maksud apapun, akan tetapi ia melakukannya hanya karena menampakkan sikap tenggang rasa, atau karena malu atau karena terjepit dalam situasi yang canggung, atau pun karena alasan lainnya. Dan apakah dibolehkan menyerupai mereka dalam hal ini?

Jawaban:
Mengucapkan selamat kepada orang kafir pada perayaan Natal atau hari besar keagamaan lainnya dilarang menurut ijma’ (kesepakatan ulama). Sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qoyyim—rahimahullah—dalam bukunya Ahkamu Ahlidz-dzimmah, beliau berkata, “Mengucapkan selamat terhadap syiar-syiar kafir yang menjadi ciri khasnya adalah haram, menurut kesepakatan. Seperti memberi ucapan selamat kepada mereka pada hari-hari rayanya atau puasanya, sehingga seseorang berkata, “Selamat hari raya”, atau ia mengharapkan agar mereka merayakan hari rayanya atau hal lainnya. Maka dalam hal ini, bisa jadi orang yang mengatakannya terlepas dari jatuh ke dalam kekafiran, namun (sikap yang seperti itu) termasuk ke dalam hal-hal yang diharamkan. Ibarat dia mengucapkan selamat atas sujudnya mereka pada salib. Bahkan ucapan selamat terhadap hari raya mereka dosanya lebih besar di sisi Allah dan jauh lebih dibenci dari pada memberi selamat kepada mereka karena meminum alkohol dan membunuh seseorang, berzina dan perkara-perkara yang sejenisnya. Dan banyak orang yang tidak paham agama terjatuh ke dalam perkara ini. Dan ia tidak mengetahui keburukan perbuatannya. Maka siapa yang memberi selamat kepada seseorang yang melakukan perbuatan dosa, atau bid’ah, atau kekafiran, berarti ia telah membuka dirinya kepada kemurkaan Allah.” Akhir dari perkataan Syaikh (Ibnul Qoyyim—rahimahullah).

Haramnya memberi selamat kepada orang kafir pada hari raya keagamaan mereka sebagaimana perkataan Ibnul Qoyyim adalah karena di dalamnya terdapat persetujuan atas kekafiran mereka, dan menunjukkan ridha dengannya. Meskipun pada kenyataannya seseorang tidak ridha dengan kekafiran, namun tetap tidak diperbolehkan bagi seorang Muslim untuk meridhai syiar atau perayaan mereka, atau mengajak yang lain untuk  tidak meridhai halImemberi selamat kepada mereka. Karena Allah  tersebut, sebagaimana Allah Subhaanahu Wa Ta'ala  berfirman, artinya,

“Jika kamu kafir, maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman) mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.” [QS. Az Zumar 39: 7].

Dan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala juga berfirman, artinya,

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan bagimu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.” [QS. Al Maaidah: 3]

Maka memberi selamat kepada mereka dengan ini hukumnya haram, sama saja apakah terhadap mereka (orang-orang kafir) yang terlibat bisnis dengan seseorang (Muslim) atau tidak. Jadi, jika mereka memberi selamat kepada kita dengan ucapan selamat hari raya mereka, kita dilarang menjawabnya, karena itu bukan hari raya kita, dan hari raya mereka tidaklah diridhai Allah, karena hal itu merupakan salah satu yang diada-adakan (bid’ah) di dalam agama mereka, atau hal itu ada syariatnya tapi telah dihapuskan oleh agama Islam yang Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, telah diutus dengannya untuk semua makhluk. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman tentang Islam, artinya, “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” [QS. Ali ‘Imran: 85].
   
Dan bagi seorang Muslim, memenuhi undangan mereka untuk menghadiri hari rayanya hukumnya haram. Karena hal ini lebih buruk dari pada hanya sekadar memberi selamat kepada mereka, di mana di dalamnya akan menyebabkannya turut berpartisipasi dengan mereka. Juga diharamkan bagi seorang Muslim untuk menyerupai atau meniru-niru orang kafir dalam perayaan mereka dengan mengadakan pesta, atau bertukar hadiah, atau membagi-bagikan permen atau makanan, atau libur kerja, atau yang semisalnya. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia adalah bagian dari mereka”.

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam bukunya, Iqtidha’ Ash Shirathal Mustaqiim, “Menyerupai atau meniru-niru mereka dalam hari raya mereka menyebabkan kesenangan dalam hati mereka terhadap kebatilan yang ada pada mereka. Bisa jadi hal itu sangat menguntungkan mereka guna memanfaatkan kesempatan untuk menghina/merendahkan orang-orang yang berfikiran lemah”. Akhir dari perkataan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah—rahimahullah. (Majmu’ Fatawa, Fadlilah asy Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin, III/44-46 No.403).
Wallahu A'lamu Bishshawab 


Antara Cinta Rasul dan Maulid Nabi

      Cinta terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam merupakan salah satu syarat beriman        kepadanya, bahkan kecintaan kepada beliau harus melebihi segala kecintaan pada makhluk lainnya.


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, “Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian, sampai aku lebih dia cintai daripada anaknya, orangtuanya, dan manusia seluruhnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).


        Ketika Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu menggambarkan kecintaannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam, dan  menempatkan posisi cintanya kepada beliau di bawah kecintaannya terhadap dirinya sendiri, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam menafikan kesempurnaan imannya hingga dia menjadikan cintanya kepada beliau di atas segala-galanya.
Setiap orang berhak untuk mengklaim dirinya sebagai pencinta Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam, namun klaim tersebut tidak akan bermanfaat jika tidak dibuktikan dengan ittiba’ (mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam), taat dan berpegang teguh pada petunjuknya. Klaim cinta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam tidak dapat diterima dengan sekadar memeringati hari kelahiran beliau. 
Sejarah Peringatan Maulid Nabi

Dalam sejarah pun, motivasi orang-orang yang mula-mula melakukan peringatan maulid nabi (pengikut mazhab Bathiniyyah), bukan didasari rasa cinta kepada beliau, tapi untuk tujuan politis. 

        Pelopor pertama peringatan maulid nabi adalah Bani Ubaid al-Qaddaah atau yang lebih dikenal dengan al-Fathimiyyun atau Bani Fathimiyyah pada pertengahan  abad ke empat Hijriyah, setelah berhasil memindahkan dinasti Fathimiyah dari Maroko ke Mesir pada tahun 362 H. 

         Perayaan maulid diadakan untuk menarik simpati masyarakat yang mayoritasnya berada dalam kondisi ekonomi yang sangat terpuruk untuk mendukung kekuasaannya dan masuk ke dalam mazhab bathiniyahnya yang sangat menyimpang dari akidah, bahkan bertentangan dengan Islam.
Pakar sejarah yang bernama Al Maqrizy menjelaskan bahwa begitu banyak perayaan yang dilakukan oleh Fatimiyyun dalam setahun. 

           Beliau menyebutkan kurang lebih 25 perayaan yang rutin dilakukan setiap tahun dalam masa kekuasaannya, termasuk di antaranya adalah peringatan maulid Nabi. Tidak hanya perayaan-perayaan Islam tapi lebih parah lagi, mereka juga mengadakan peringatan hari raya orang-orang Majusi dan Nashrani yaitu hari Nauruz (tahun baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), dan hari Khomisul ‘Adas (perayaan tiga hari sebelum Paskah). 

          Kenyataan sejarah peringatan maulid yang tidak ditemukan pada masa Nabi  Shallallahu ‘alaihi Wasallam dan masa tiga generasi yang disebut oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam sebagai generasi terbaik umat ini, menyebabkan banyak di antara ulama yang mengingkarinya dan memasukkannya ke dalam bid'ah haram. 

         Tak dipungkiri, di antara ulama ada yang menganggapnya sebagai bid'ah hasanah, inovasi yang baik, selama tidak dibarengi dengan kemungkaran. Pendapat ini diwakili antara lain oleh Ibnu Hajar al Atsqolani dan as-Suyuti. Keduanya mengatakan bahwa status hukum maulid nabi adalah bid’ah mahmudah (bid’ah terpuji). Tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam, tetapi keberadaannya membawa maslahat walaupun juga tidak lepas dari berbagai mudharat. 

      Keabsahan peringatan maulid nabi bagi mereka disandarkan pada dalil umum yang tidak berhubungan langsung dengan titik permasalahan, sedangkan para ulama yang menentangnya membangun argumen-tasinya melalui pendekatan normatif tekstual yang tidak ditemukan baik secara tersurat maupun secara tersirat dalam al Quran dan juga al hadits, dan diperkuat dengan kaedah umum dalam ibadah yang menuntut adanya dalil spesifik yang menunjang disyariatkannya suatu ibadah.
Hujjah Pendukung Peringatan Maulid
Para pendukung maulid berusaha mencari dalil untuk melegitimasi bolehnya peringatan maulid tersebut, antara lain:
Pertama: Sikap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam ketika mendapatkan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Puasa tersebut adalah ungkapan syukur kepada Allah Azza Wajalla atas keselamatan Nabi Musa dari kejaran Fir’aun. Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam pun menyerukan untuk berpuasa pada hari tersebut.

Peringatan maulid nabi, menurut Ibn Hajar dan as-Suyuti merupakan ungkapan syukur atas diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam ke muka bumi. 

Hujjah ini ditolak oleh ulama lainnya. Mereka menganggapnya sebagai alasan yang dipaksakan, mengingat dasar suatu ibadah adalah adanya dalil yang memerintahkannya dan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam, bukan pada logika, analogi dan istihsan. 

Puasa asyura termasuk sunnah yang telah dipraktikkan dan diserukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam, sedangkan peringatan maulid tidak pernah dilakukan apalagi diserukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Sebaliknya, beliau telah mewanti-wanti ummatnya dari kreasi-kreasi bid'ah, seperti dalam sabdanya, "Jauhilah amalan yang tidak aku contohkan (bid`ah), karena setiap bid`ah sesat." (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi). 

       Benar bahwa kita dituntut untuk senantiasa mensyukuri nikmat Allah Subhaanahu Wata’ala, dan nikmat terbesar yang tercurah pada ummat ini adalah diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam sebagai seorang rasul, bukan saat dilahirkannya. Karenanya, al Qur'an menyebut pengutusan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam sebagai nikmat, "Sungguh Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang beriman ketika Allah mengutus kepada mereka seorang Rasul di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri." (QS. Ali Imran: 164).

      Ayat ini sama sekali tidak menyinggung kelahiran beliau dan menyebutnya sebagai nikmat. Seandainya peringatan tersebut dibolehkan, seharusnya yang diperingati adalah hari ketika beliau dibangkitkan menjadi nabi, bukan hari kelahirannya. Lagi pula, status Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam yang mensyariatkan puasa Asyura' berbeda dengan status umatnya. Beliau adalah musyarri' (pembuat syariat), adapun umatnya hanya muttabi' (pengikut), sehingga tak dapat disamakan dan dianalogikan dengan beliau. 

     Dan sekiranya peringatan maulid merupakan bentuk syukur kepada Allah, tentu tiga generasi terbaik, serta para imam mazhab yang empat tidak ketinggalan untuk melakukan peringatan tersebut, sebab mereka adalah orang-orang yang pandai bersyukur, sangat cinta pada Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam, dan sangat antusias melakukan berbagai kebaikan. 

     Hal yang juga mengundang tanya, mengapa ungkapan rasa syukur, penghormatan dan pengagungan pada Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam hanya sekali dalam setahun, 12 Rabi’ul Awwal saja? Bukankah bersyukur kepada Allah, mengagungkan dan mencintai Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam dituntut setiap saat dengan menaati dan selalu ittiba’ pada sunnahnya?
Kedua: Nabi memeringati hari kelahirannya dengan berpuasa

Sebagian beralasan dengan puasa seninnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam yang merupakan hari kelahirannya. Ketika beliau Shallallahu ‘alaihi Wasallam ditanya mengenai puasa Senin, beliau pun menjawab, “Hari tersebut adalah hari kelahiranku, hari aku diangkat sebagai Rasul atau pertama kali aku menerima wahyu.” (HR. Muslim). Ini menunjukkan bolehnya memeringati hari kelahirannya.

         Alasan ini juga tidak dapat diterima, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam tidak pernah puasa pada tanggal yang diklaim sebagai kelahirannya, 12 Rabi'ul Awwal. Yang beliau lakukan adalah puasa pada hari Senin. Seharusnya kalau ingin mengenang hari kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam dengan dalil di atas, maka perayaan maulid diadakan tiap pekan, bukan sekali setahun. Selain itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam juga tidak berpuasa hanya pada hari Senin setiap pekan, tapi juga hari Kamis. Alasan beliau, "Keseluruhan amalan diperhadapkan kepada Allah pada hari Senin dan Kamis sehingga aku senang amalanku diperhadapkan kepada Allah sedang aku dalam keadaan berpuasa." (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi). 

Sehingga berdalih dengan puasa senin tanpa hari kamis termasuk takalluf dan dibuat-buat. Dan kalau alasan tersebut dapat diterima, mestinya pering-atannya dilakukan dalam bentuk puasa, bukan berfoya-foya dan makan-makan.
Ketiga: Peringatan maulid nabi dianggap sebagai bid’ah hasanah (bid’ah yang baik). Anggapan ini lahir dari klasifikasi sebahagian ulama terhadap bid'ah menjadi bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyi’ah (jelek) atau dholalah (sesat).


      Alasan ini dibantah oleh sebagian ulama bahwa peringatan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam tidak dapat diterima sebagai bid'ah hasanah, karena dalam hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam tidak dikenal sama sekali adanya bid’ah hasanah. Bahkan yang dikatakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam dan diyakini oleh sahabat adalah setiap bid’ah sesat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda,  “Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim).

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata,  “Ikutilah (petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat” (HR. ath-Thabrani dan al Haitsami).

Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu menyatakan, “Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Al Ibanah al Kubro libni Baththoh, 1/219).
Keempat: Peringatan Maulid merupakan salah satu sarana untuk lebih mengenal sosok Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam.

       Tidak ada perselisihan di kalangan ulama tentang pentingnya mengenal sosok Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Hanya saja, sebagian di antara mereka tidak menerima suatu bid'ah dipoles menjadi sarana kebaikan, karena tujuan yang baik tidak dapat dijadikan alasan untuk menghalalkan segala cara. Lagi pula, mengenal sosok beliau tidaklah pantas dibatasi oleh bulan atau tanggal tertentu. Jika ia dibatasi oleh waktu tertentu, apalagi dengan cara tertentu pula, maka sudah masuk ke dalam lingkup bid’ah. Lebih dari itu, upaya mengenal sosok beliau lewat peringatan maulid merupakan salah satu bentuk tasyabbuh (meniru-niru) orang-orang Nashrani yang merayakan kelahiran Nabi Isa Alaihissalam melalui natalan. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud). 
         Mengenal sosok Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam dengan membaca dan mengkaji sirah, biografi dan sunnah beliau seharusnya dilakukan sepanjang waktu, sebagaimana para sahabat mengajarkannya kepada anak-anak mereka setiap waktu.
      Seharusnya cinta Nabi dibuktikan dengan meneladani dan mengikuti sunnah-sunnah beliau, bukan dengan menyelisihi perintah atau melakukan sesuatu yang tidak ada tuntunannya.
Wallahu A’laa wa A’lamu bis-shawab

(Diringkas dari risalah Antara Cinta Rasul dan Maulid Nabi. Ustadz Abu Yahya Salahuddin Guntung, Lc.)

macam-macam shalat

MACAM-MACAM SHALAT

 A. SHALAT SUNAH 

         Shalat merupakan bentuk ibadah mahdhah yang dalam pelaksanaannya telah di tentukan dan di tetapkan juga di contohkan oleh Rasulullah SAW. Bahkan dalam hal ini akal tidak boleh ikut campur dalam sisi pelaksanaannya. Shalat sunah ialah semua shalat selain shalat fardhu yang lima waktu. Shalat sunah sering di sebut shalat “Tathowwu” . Sholat sunah apabila dikrjakan akan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapat dosa. Sholat sunah itu yang akan dilakukan dengan berjamaah dan adapula yang dikerjakan dengan sendirian. Yang dikerjakan sendirian tanpa berjamaah misalnya : 

a. Shalat rawatib 
b. Shalat dhuha 
c. Shalat tahiyatul masjid 
d. Shalat Tahajjud 
e. Shalat Hajat 
f. Shalat istiharah 
g. dan sebagainya 

Adapun shalat sunah yang dikerjakan dengan berjamaah misalnya 

a. shalat tarwih dan witir (pada malam bulan ramadhan) 
b. shalat idul fitri 
c. shalat idul Adha 
d. shalat gerhana matahari dan bulan 
e. shalat istiqo’ ( minta hujan ) 

        Dengan demikian pelaksanaan sholat ( termasuk sholat sunat ) tentu saja harus tepat niat, tepat saat ( Waktu ), tepat tempat dan tepat kaifiyat ( cara ) juga tentu tepat jumlah raka`at sesuai dengan anjran dan tuntunan Rasulullah SAW, serta jauh daru berbagai penambahan apalagi pengurangan ( Bid`ah ). Tidak sedikit kaum muslimin dalam menilai shalat sunat ini hanya sebatas dari sisi hukum semata, yaitu tidak berdosa jika melaksanakannya. Cara pandang seperti ini semestinya harus kita rubah dengan pandangan lain yaitu apabila kita tidak melaksanakannya maka kerugian yang kita dapat. Sebab tidak menambah nilai atau pahala. Padahal di antara fungsi shalat sunat adalah sebagai penyempurna dari kelalaian dan kekurangan shalat fardhu yang kita lakukan. Rasulullah SAW bersabda : عن ابى هريرة قال سمعث رسول الله ص م يقول : ان اول مايحاسب يه العبد يوم القيامة الصلاة المكتوبة, فاءن اثمها والا قيل : انظروا هل له من تطوع ؟ فاءن كان له تطوع اكملة الفريضة من ثطوعه,ثم يفعل بسائر الاعمل المفروضة مثل ذلك (رواه الخمسة Artinya : Dari Abi Hurairah berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda : “ Sesungguhnya ( amal Muslim ) yang pertama kali di hisab pada hari kiamat adalah Shalat wajib. Jika ia telah menyempurnakannya ( selesai persoalannya ), tetapi jika kurang sempurna shalat ( wajib)-nya, maka di akatakan kepada malaikat : lihat dulu apakah ia pernah melaksanakan shalat sunat? Jika ia pernah melakukan shalat sunat, maka kekurangan dalam shalat wajib di sempurnakan dengan shalat sunatnnya. Kemudian amalan wajib yang lainnya di perlakukan seperti itu ( Nailu Al-Author I:374 )

 B. SUNNAH RAWATIB 

            Shalat sunat Rawatib adalah shalat sunat yang dilaksanakan sebelum atau sesudah pelaksanaan shalat wajib. Atau shalat sunat yang mengiringi shalat wajib yag 5 waktu. Tetapi tidak semua shalat wajib ada sunat rawatibnya, baik qobliyah ( sebelum ) maupun Ba`diyah ( sesudah )-nya. Yang di jelaskan dalam Hadist yang shahih, shalat sunat rawatib meliputi :  sunnah rawatib mu'akkadah, yaitu dua belas rakaat 1) 2 atau 4 rakaat sebelum shalat zhuhur 2) 2 rakaat setelah shalat zhuhur 3) 2 rakaat setelah shalat maghrib 4) 2 rakaat stelah shalat isya 5) 2 rakaat sebelum shalat shubuh Hal tersebut berdasarkan Hadist di antaranya : عَنْ أُمِّ حَبِيبَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ صَلَّى فِى يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً بُنِىَ لَهُ بَيْتٌ فِى الْجَنَّةِ أَرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلاَةِ الْفَجْرِ » Artinya : Dari Ibnu Umar berkata : Saya hapal atau ingat dari ( shalat sunat ) Rasulullah SAW 10 raka`at : ( yaitu ) 2 raka`at sebelum shalat zhuhur, dan 2 raka`at sesudahnya, 2 raka`at sesudah shalat maghrib di rumahnya, 2 raka`at sesudah shalat isya di rumahnya, dan 2 raka`at sebelum shalat shubuh. ( Bukhori II : 51, Muslim I : 293) عن عائشة (ض) ان النبى (ص م) كان لايدع اربعا قبل الظهر وركعتين قبل الغداة (رواه البخارى Artinya : Dari Aisyah : sesungguhnya Nabi SAW tidak meninggalkan 4 raka`at sebelum zhuhur dan 2 raka`at sebelum shubuh. ( HR. Bukhori ) • Dari ummu habibah _ isteri nabi _ beliau berkata: aku mendengar rasulullah _ bersabda: «tidaklah seorang hamba muslim shalat sunnah bukan fardhu untuk Allah setiap hari dua belas rakaat, kecuali Allah membangunkan baginya rumah di surga, atau kecuali dibangunkan baginya rumah di surga. (HR. Muslim) • Suatu kali shalat sepuluh rakaat sebagaimana di atas, akan tetapi shalat dua rakaat sebelum dhuhur. Dari Ibnu Umar _ berkata: «aku shalat bersama rasulullah _ sebelum dhuhur dua rakaat, dan setelahnya dua rakaat, setelah maghrib dua rakaat, setelah shalat isya' dua rakaat, setelah shalat jum'at dua rakaat, adapun shalat maghrib, isya', dan jum'at, maka aku shalat bersama nabi _ di rumahnya. (muttafaq alaih)  shalat rawatib yang tidak mu'akkad, dilakukan namun tidak terus-menerus: dua rakaat sebelum asar, maghrib, isya', dan disunnahkan selalu shalat empat rakaat sebelum asar, dan ia merupakan sebab mendapat rahmat Allah SWT. 

• Barangsiapa yang tidak melakukan sunnah ini. Karena ada halangan, disunnahkan mengqadha'nya.
• Apabila seorang muslim wudhu’ dan masuk masjid setelah adzan dhuhur misalnya, dan shalat dua rakaat     dengan niat shalat tahiyatul masijd, sunnah wudhu’, dan sunnah rawatib dhuhur, maka itu boleh. 
• Disunnahkan memisahkan antara shalat fardhu dg sunnah rawatib qabliyah atau ba’diyah dengan berpindah atau berbicara. 
• Shalat-shalat sunnah ini dilakukan di masjid atau di rumah, dan yang lebih utama dilakukan di rumah, berdasarkan sabda nabi saw: …maka shalatlah wahai manusia di rumah kalian karena shalat yg paling utama adalah shalat seseorang di rumahnya kecuali shalat wajib. (muttafaq alaih) (3) 
• Boleh shalat sunnah sambil duduk walaupun mampu berdiri, dan shalat berdiri lebih utama, adapun shalat fardhu, maka berdiri merupakan rukun kecuali bagi yg tidak mampu berdiri, maka ia shalat sesuai dengan kondisinya seperti telah diterangkan di atas. 
• Barangsiapa yg shalat sunnah sambil duduk tanpa ada halangan, maka ia mendapatkan separuh shalat berdiri, kalau ada halangan maka ia mendapat pahala seperti shalat berdiri, dan shalat sunnah sambil berbaring karena udzur maka pahalanya seperti shalat berdiri, dan jika tanpa udzur maka mendapat separuh pahala shalat duduk. Keutamaan Shalat Sunnah Rawatib 1. Shalat adalah sebaik-baik amalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, وَاعْلَمُوا أَنَّ خَيْرَ أَعْمَالِكُمُ الصَّلاَةُ “Ketahuilah, sebaik-baik amalan bagi kalian adalah shalat.”[1] 2. Akan meninggikan derajat di surga karena banyaknya shalat tathowwu’ (shalat sunnah) yang dilakukan Tsauban –bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah ditanyakan mengenai amalan yang dapat memasukkannya ke dalam surga atau amalan yang paling dicintai oleh Allah. Kemudian Tsauban mengatakan bahwa beliau pernah menanyakan hal tersebut pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas beliau menjawab, عَلَيْكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ لِلَّهِ فَإِنَّكَ لاَ تَسْجُدُ لِلَّهِ سَجْدَةً إِلاَّ رَفَعَكَ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ عَنْكَ بِهَا خَطِيئَةً “Hendaklah engkau memperbanyak sujud kepada Allah karena tidaklah engkau bersujud pada Allah dengan sekali sujud melainkan Allah akan meninggikan satu derajatmu dan menghapuskan satu kesalahanmu.”[2] Ini baru sekali sujud. Lantas bagaimanakah dengan banyak sujud atau banyak shalat yang dilakukan?! 3. Menutup kekurangan dalam shalat wajib Seseorang dalam shalat lima waktunya seringkali mendapatkan kekurangan di sana-sini sebagaimana diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, إِنَّ الرَّجُلَ لَيَنْصَرِفُ وَمَا كُتِبَ لَهُ إِلاَّ عُشْرُ صَلاَتِهِ تُسْعُهَا ثُمُنُهَا سُبُعُهَا سُدُسُهَا خُمُسُهَا رُبُعُهَا ثُلُثُهَا نِصْفُهَا “Sesungguhnya seseorang ketika selesai dari shalatnya hanya tercatat baginya sepersepuluh, sepersembilan,seperdelapan, sepertujuh, seperenam, seperlima, seperempat, sepertiga, separuh dari shalatnya.”[3] Untuk menutup kekurangan ini, disyari’atkanlah shalat sunnah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمُ الصَّلاَةُ قَالَ يَقُولُ رَبُّنَا جَلَّ وَعَزَّ لِمَلاَئِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ انْظُرُوا فِى صَلاَةِ عَبْدِى أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً وَإِنْ كَانَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا قَالَ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِى مِنْ تَطَوُّعٍ فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ قَالَ أَتِمُّوا لِعَبْدِى فَرِيضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ ثُمَّ تُؤْخَذُ الأَعْمَالُ عَلَى ذَاكُمْ “Sesungguhnya amalan yang pertama kali akan diperhitungkan dari manusia pada hari kiamat dari amalan-amalan mereka adalah shalat. Kemudian Allah Ta’ala mengatakan pada malaikatnya dan Dia lebih Mengetahui segala sesuatu, “Lihatlah kalian pada shalat hamba-Ku, apakah sempurna ataukah memiliki kekurangan? Jika shalatnya sempurna, maka akan dicatat baginya pahala yang sempurna. Namun, jika shalatnya terdapat beberapa kekurangan, maka lihatlah kalian apakah hamba-Ku memiliki amalan shalat sunnah? Jika ia memiliki shalat sunnah, maka sempurnakanlah pahala bagi hamba-Ku dikarenakan shalat sunnah yang ia lakukan. Kemudian amalan-amalan lainnya hampir sama seperti itu.”[4] 4. Rutin mengerjakan shalat rawatib 12 raka’at dalam sehari akan dibangunkan rumah di surga. Dari Ummu Habibah –istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda, « مَنْ صَلَّى اثْنَتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِى يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِىَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِى الْجَنَّةِ “Barangsiapa mengerjakan shalat sunnah dalam sehari-semalam sebanyak 12 raka’at, maka karena sebab amalan tersebut, ia akan dibangun sebuah rumah di surga.” 

 C. SHALAT LAIL ( SHALAT MALAM ) 

        Shalat malam adalah ibadah shalat yang dilaksanakan pada malam hari, ( yaitu ) selesai shalat isya sampai menjelang shalat shubuh. Shalat ini merupakan shalat sunat yang dikatakan lebih utama setelah shalat wajib ( lihat Muslim Bulugu Al-Maram h.106 ). Pelaksanaan shalat malam ini, boleh dilakukan pada awal malam (selesai shalat Isya sampai kira-kira pukul 11.00 WIB), atau pada pertengahan malam (kira-kira pukul 11.00 s/d 02.00 WIB), atau pada akhir malam (kira-kira pukul 02 s/d sampai menjelang shubuh). Dinamakan shalat malam (qiyamu al-lail), sebab orang yang melaksanakannya terjaga diwaktu malam. Disebut shalat tahajjud (yang di ambil dari Q.S.al_Isra 79), karena pelaksanaannya dilakukan diakhir malam setelah tidur terlebih dahulu. Dan dinamakan juga dengan shalat witir karena jumlah rakaat dalam shalat malam gasal/ganjil (witir). Jadi pada hakikatnya ketiga nama itu sama (yakni) shalat malam (lihat Majalah Risalah No.07 tahun 2003). Oleh karena itu dalam sewbuah hadits Nabi saw bersabda : …."tidak ada dua (shalat) witir dalam satu malam"(HR.Ahmad lihat Bulughu al-Maram h. 110), maksudnya adalah tidak ada dua shalat malam (tahajjud, qiyamul-lail atau qiyamu al-Ramadhan) dalam satu malam. Walau demikian, ada juga yang membedakannya. Witir identik dengan jumlah rakaat (ganjil) dan waktu pelaksanaannya sesudah shalat Isya sampai menjelang shubuh (baik diawal, tengah atau akhir malam). Sementara tahajjud identik dengan shalat setelah tengah malam dan setelah tidur terlebih dahulu. Selain itu didapatkan pula anjuran-anjuran Rasulullah saw untuk melengkapi shalat malam dengan witir. Bahkan karena witir ini sebuah kemestian (sunat muakadah), Rasulullah saw pernah menyarankan agar orang yang khawatir kesiangan , supaya melaksanakan witir terlebih dahulu sebelum ia tidur. Tetapi, dalam konteks ini, antara witir dengan shalat malam sisanya tentu tidak boleh lebih dari 11 rakaat. Sehingga, jika witir sebelum 1 rakaat, maka shalat malam sisanya di lakukan 10 rakaat. Jika witir sebelum tidur 3 rakaat, maka sisanya 8 rakaat dan seterusnya. Adapun untuk shalat malam yang sisanya (dari witir) itu, bisa dilakukan langsung sekaligus, atau bisa juga secara bertahap (lihat Bukhary I : 120, Muslim I : 298 dan 303, Tirmidzi : 454). Misalnya, jika shalat malam itu sisanya 8 rakaat (karena telah witir dahulu 3 rakaat), maka bisa dilaksanakan 8 rakaat itu secara langsung dengan salam di rakaat ke-8, atau bisa dilakukan 4 – 4, dengan salam disetiap rakaat ke-4, atau bisa dilakukan 2-2-2-2 dengan salam disetiap rakaat ke-2. Sementara keterangan yang menyebutkan bahwa qiyamur-Ramadhan (shalat tarawih) sama dengan qiyamul-lail (shalat malam), tersirat dalam keterangan Siti Aisyah : عن عائشة (ض) ماكان رسول الله (ص م) بزيد فى رمضان ولا فى غيره على احدى عشرة ركعة يصلى اربعا فلا تسئل عن حسنهن وطولهن ثم يصلى اربعا فلا تسئل عن حسنهن وطولهن ثم يصلى ثلاثا (رواه البخاري و مسلم Artinya : Aisyah berkata: Rasulullah saw tidak pernah menambah (shalat malamnya) baik itu dibulan Ramadhan ataupun dibulan lainnya lebih dari 11 rakaat. Beliau shalat 4 rakaat, jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya (Nabi shalat). Kemudian shalat 4 rakaat, jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya (shalat). Kemudian shalat 3 rakaat (Bukhary I : 358, Muslim I : 509). Catatan pertama dari hadits diatas adalah bahwa qiyamur-Ramadhan sama dengan qiyamul-lail. Ini tergambar dari pernyataan Aisyah yang tidak membedakan shalat malam yang Nabi SAW lakukan di bulan Ramadhan dan bulan-bulan lainnya. Kedua, dari hadits diatas, shalat malam Nabi SAW yang Aisyah ketahui tidak pernah lebih dari 11 rakaat (sementara kurang dari 11 rakaat pernah, (yaitu) saat Nabi melaksanakan 9 rakaat dikarenakan usia sudah tua, lihat Muslim I :514 No.746), diantara perinciannya Aisyah mencontohkan 4-4-3. Jadi yang pokok dari kesamaan pelaksanaan shalat malam itu bukan terfokus pada 4-4-3 nya, melainkan 11 rakaatnya. Karena dalam riwayat yang lain, ketika Aisyah menyatakan shalat malam Rasul itu 11 rakaat, Aisyah juga menyebutkan perincian dari yang 11 rakaat itu 2-2-2-2-2-1 (Muslim I :508 No.736), 2-2-2-5 (sunan Abi Dawud II : 45 No.1359), 9-2 (Muslim I : 513 No. 139, lihat juga sunan Abi Dawud). Dan dari shahabat Amir bin Sya"bi diterangkan bahwa shalat malam Nabi 2-2-2-2-3 (lihat Ibnu Majah). Mengapa umat Islam sekarang menyebut qiyamur-Ramadhan dengan nama tarawih? Imam Ibnu Hajar al-Asqalany dalam hal ini menjelaskan, (bahwa) penamaannya dengan tarawih (bentuk jama dari tarwihat yang berarti : rehat, jeda, istirahat sebentar) dikarenakan orang-oranmg dahulu selalu beristirahat sejenak setelah salam (Fathu al-Baary IV : 250). Sehingga selanjutnya dikenalah dengan nama dan istilah shalat tarawih. Dan para ulama-pun bersepakat bahwa shalat yang dinamai tarawih itu adalah qiyamur-Ramadhan (Fathu al-Baary IV : 251). 

 D. SHALAT DHUHA 

       Shalat dhuha disebut juga shalat awwabin. Dinamakan shalat dhuha karena waktu pelaksanaannya di lakukan diwaktu dhuha (ketika matahari mulai meninggi), dan dinamakan awwabin sebagai sanjungan Nabi SAW kepada orang-orang yang biasa melakukannya, (yaitu) awwabin (orang-orang yang bertaubat). Shalat dhuha adalah salah satu bentuk taqarrub atau ibadah yang secara khusus pernah diwasiatkan oleh Rasulullah saw kepada Abi Hurairah agar senantiasa didawamkan/dibiasakan melaksankannya. قال ابوهريرة: اوصانى خليلى بثلاث , بصيام ثلاثة ايام فى كل شهر, وركعتين الضحى وان اوتر قبل ان انام (رواه البخارى مسلم وابواداود) Artinya : Abu Hurairah berkata : Telah berwasiat kepadaku kekasihku (Nabi SAW) dengan 3 hal, (yaitu) : Shaum (puasa) 3 hari di pertengahan bulan, shalat dhuha 2 rakaat dan melaksankan witir (dahulu) sebelum tidur (Bukhary I : 339, Muslim I : 290 dan Abi Dawud 1432). Adapun mengenai waktu shalat dhuha adalah pagi hari disaat matahari mulai meninggi. .....صلاة الاوبين حين ترمض الفصال (رواه الثرمدى) Artinya : Shalat orang-orang yang taubat (shalat dhuha) itu (adalah) manakala anak-anak unta bangkit karena terik matahari (HR.Tirmidzy, Bulughu al-Maram No.418). Jadi apabila sinar matahari pagi sudah terasa panas, maka itulah permulaan waktu dhuha. Karena memang dimasa lalu, waktu penentuan ibadah (terutama shalat) didasarkan diantaranya pada peredaran matahari. Di masa sekarang, kalau menggunakan waktu standar, diperkirakan waktu dhuha itu antara pukul 08.00 s/d 10.00 (lihat Majalah Risalah No.7 th 41 Oktober 2003). Adapun mengenai jumlah rakaat shalat dhuha, bisa dilakukan 2 rakaat seperti hadits Abu Hurairah diatas, bisa juga 4 rakaat, delapan rakaat atau juga lebih sesuka kita menambah (Shahih Muslim I : 289, Bukhary dlm wa al-Marjan 417 dan Ibnu Hibban). Rahasia dan Keutamaan shalat Dhuha Hadits Rasulullah Muhammad saw yang menceritakan tentang keutamaan shalat Dhuha, di antaranya: 

1. Sedekah bagi seluruh persendian tubuh manusia Dari Abu Dzar al-Ghifari ra, ia berkata bahwa Nabi    Muahammad saw bersabda: 

     “Di setiap sendiri seorang dari kamu terdapat sedekah, setiap tasbih (ucapan subhanallah) adalah sedekah, setiap tahmid (ucapan alhamdulillah) adalah sedekah, setiap tahlil (ucapan lailahaillallah) adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, menyuruh kepada kebaikan adalah sedekah, mencegah dari kemungkaran adalah sedekah. Dan dua rakaat Dhuha diberi pahala” (HR Muslim). 

2. Ghanimah (keuntungan) yang besar Dari Abdullah bin `Amr bin `Ash radhiyallahu `anhuma, ia berkata:  
       
       Rasulullah saw mengirim sebuah pasukan perang. Nabi saw berkata: “Perolehlah keuntungan (ghanimah) dan cepatlah kembali!”. Mereka akhirnya saling berbicara tentang dekatnya tujuan (tempat) perang dan banyaknya ghanimah (keuntungan) yang akan diperoleh dan cepat kembali (karena dekat jaraknya). Lalu Rasulullah saw berkata; “Maukah kalian aku tunjukkan kepada tujuan paling dekat dari mereka (musuh yang akan diperangi), paling banyak ghanimah (keuntungan) nya dan cepat kembalinya?” Mereka menjawab; “Ya! Rasul saw berkata lagi: “Barangsiapa yang berwudhu’, kemudian masuk ke dalam masjid untuk melakukan shalat Dhuha, dia lah yang paling dekat tujuanannya (tempat perangnya), lebih banyak ghanimahnya dan lebih cepat kembalinya.” (Shahih al-Targhib: 666)

 3. Sebuah rumah di surga Bagi yang rajin mengerjakan shalat Dhuha, maka ia akan dibangunkan sebuah rumah di dalam surga. Hal ini dijelaskan dalam sebuah hadits Nabi Muahammad saw: “Barangsiapa yang shalat Dhuha sebanyak empat rakaat dan empat rakaat sebelumnya, maka ia akan dibangunkan sebuah rumah di surga.” (Shahih al-Jami`: 634) 

4. Memeroleh ganjaran di sore hari Dari Abu Darda’ ra, ia berkata bahwa Rasulullah saw berkata: 

        Allah ta`ala berkata: “Wahai anak Adam, shalatlah untuk-Ku empat rakaat dari awal hari, maka Aku akan mencukupi kebutuhanmu (ganjaran) pada sore harinya” (Shahih al-Jami: 4339). Dalam sebuah riwayat juga disebutkan: “Innallaa `azza wa jalla yaqulu: Yabna adama akfnini awwala al-nahar bi’arba`i raka`at ukfika bihinna akhira yaumika” (Sesungguhnya Allah `Azza Wa Jalla berkata: “Wahai anak Adam, cukuplah bagi-Ku empat rakaat di awal hari, maka aku akan mencukupimu di sore harimu”).

 5. Pahala Umrah Dari Abu Umamah ra bahwa Rasulullah saw bersabda:

       “Barang siapa yang keluar dari rumahnya dalam keadaan bersuci untuk melaksanakan shalat wajib, maka pahalanya seperti seorang yang melaksanakan haji. Barang siapa yang keluar untuk melaksanakan shalat Dhuha, maka pahalanya seperti orang yang melaksanakan `umrah…” (Shahih al-Targhib: 673). Dalam sebuah hadits yang lain disebutkan bahwa Nabi saw bersabda: “Barang siapa yang mengerjakan shalat fajar (shubuh) berjamaah, kemudian ia (setelah usai) duduk mengingat Allah hingga terbit matahari, lalu ia shalat dua rakaat (Dhuha), ia mendapatkan pahala seperti pahala haji dan umrah; sempurna, sempurna, sempurna..” (Shahih al-Jami`: 6346). 

6. Ampunan Dosa “Siapa pun yang melaksanakan shalat dhuha dengan langgeng, akan diampuni dosanya oleh Allah, sekalipun dosa itu sebanyak buih di lautan.” (HR Tirmidzi) 

 E. SHALAT ISTIKHARAH 

     Istikharah artinya (memohon) pilihan (yang terbaik). Shalat istikharah adalah shalat 2 rakaat yang dilaksanakan apabila memohon ketetapan pilihan (yang terbaik) kepada Allah SWT. Hal ini biasanya apabila kita di hadapkan pada 2 pilihan atau lebih yang semuanya kita anggap baik. Tetapi jika 2 pilihan itu antara yang halal dan haram, maka tentu tidak di syariatkan shalat istikharah, sebab antara halal dan haram sudah jelas mana yang wajib kita pilih. Adapun cara dan bacaannyasama dengan shalat biasa. Setelah shalat 2 raka`at, kemudian kita membaca do`a. Do`a yang di contohkan Nabi SAW yaitu : اللهم انى استخيرك بعلمك واستقدرك بقدرتك من فضلك العظيم فانك تقدرولااقدروتعلم ولااعلم وانت علام الغيوب اللهم ان كنت تعلم ان هداالامرخيرلى فى دينى ومماتى وعاقبةامرى فاقدره لى ويسره لى ثم بارك لى فيه, وان كنت تعلم ان هذاالامرشرلى فىدينى ومعاشى وعاقبة امرى فاصرفه عنى واصرفنى عنه وقدره لى الخير حيث كان ثم ارضنى ( Allahumma innii astakhiruka bi`ilmika wa astaqdiruka bi qudrotika wa as-aluka min fadlikal-`adhim, fainnaka taqdiru wa laa aqdiru wa ta`lamu wala a`lamu wa anta alaa mul ghuyuub, Allahumma in kunta ta`lamu anna hajal amru khoirul lii fi dinii wa mamaati wa akibatu amrii faqdurhu li wa yassirhulii summa bariklii fiihi, wa inkunta ta`lamu anna hadzal-amru syarulli fi dini wa ma`aasyi wa`aqibatu amri fasrifhu `anni wasrifnii`anhu waqdurhu liyal-khairi haitsu kana tsumma ardhini) Artinya : Ya Allah sesungguhnya aku meohon kepada-Mu pilihan yag terbaik dengan pengetahuan-Mu, dan aku memohon supaya Engkau memberi kekuatan dengan kekuasaan-Mu dan aku memohon kemurahan-Mu yang luas. Sesungguhnya Engkau maha kuasa sedangkan aku tidak berdaya. Engkau maha tau sedangkan aku tidak mengerahuinya, dan Engkau maha mengetahui yang Ghoib. Ya Allah jika Engkau telah ketahui bahwa perkara ini baik bagi ku, baik buat Agama ku dan baik bagi penghidupan ku, maka berikanlah (takdirkanlah) ia kepadaku serta mudahkanlah buatku, dan berkahilah ia bagiku. Dan jika Engkau ketahui bahwa perkara ini akan merusak (jelek) bagiku, buat Agamaku dan penghidupanku serta buat penghabisanku, maka jauhkanlah ia daripada ku dan jauhkanlah aku darinya, dan berilah gantinya padaku yang lebih baik, walau dimanapun adanya, serta jadikanlah aku ridho akan pemberian itu. (Bukhori II : 51) Petunjuk yang Mungkin Datang Seusai Istiharah 

1. Allah memberikan petunjuk melalui mimpi 
2. Petunjuk melalui firasat 
3. Petunjuk melalui ketetapan hati 
4. Petunjuk dengan menjauhkan orang tersebut dari yang tidak baik untuk dirinya dan mendekatkan dengan      apa yang baik untuknya.

Senin, 01 Oktober 2012



yang ditulis oleh Syeikh Abdul Muhsin Al-Qasim. Beliau adalah Imam dan Khatib di Masjid Nabawi. Semoga Artikel kali ini bermanfaat dan dapat menambah semangat kaum Muslimin untuk dapat menyelesaikan hafalan Al Qur’an yang mulia. Selamat mencoba. [admin]
الحمد لله والصلاة والسلام على نبينا محمد ، وعلى آله وصحبه أجمعين
Berikut adalah metode untuk menghafal Al-Quran yang memiliki keistimewaan berupa kuatnya hafalan dan cepatnya proses penghafalan. Kami akan jelaskan metode ini dengan membawa contoh satu halaman dari surat Al-Jumu’ah:
1. Bacalah ayat pertama sebanyak 20 kali :
يُسَبِّحُ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ
2. Bacalah ayat kedua sebanyak 20 kali:

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
3. Bacalah ayat ketiga sebanyak 20 kali:
وَآَخَرِينَ مِنْهُمْ لَمَّا يَلْحَقُوا بِهِمْ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
4. Bacalah ayat keempat sebanyak 20 kali:
ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ
5. Bacalah keempat ayat ini dari awal sampai akhir sebanyak 20 kali untuk mengikat/menghubungkan keempat ayat tersebut
6. Bacalah ayat kelima sebanyak 20 kali:
مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآَيَاتِ اللَّهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
7. Bacalah ayat keenam sebanyak 20 kali:
قُلْ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ هَادُوا إِنْ زَعَمْتُمْ أَنَّكُمْ أَوْلِيَاءُ لِلَّهِ مِنْ دُونِ النَّاسِ فَتَمَنَّوُا الْمَوْتَ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
8. Bacalah ayat ketujuh sebanyak 20 kali:
وَلَا يَتَمَنَّوْنَهُ أَبَدًا بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِالظَّالِمِينَ
9. Bacalah ayat kedelapan sebanyak 20 kali:
قُلْ إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلَاقِيكُمْ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
10. Bacalah ayat kelima sampai ayat kedelepan sebanyak 20 kali untuk mengikat/menghubungkan keempat ayat tersebut
11. Bacalah ayat pertama sampai ayat kedelepan sebanyak 20 kali untuk menguatkan/meng-itqankan hafalan untuk halaman ini
Demikianlah ikuti cara ini dalam menghafal setiap halaman Al-Qur’an. Dan janganlah menghafal lebih dari seperdelapan juz dalam setiap hari agar tidak berat bagi anda untuk menjaganya.
Bagaimana cara menggabungkan antara menambah hafalan dan muraja’ah?
Janganlah anda menghafal Al-Quran tanpa proses muraja’ah/pengulangan. Hal ini dikarenakan jika anda terus menerus menambah hafalan Al-Quran lembar demi lembar hingga selesai kemudian anda ingin untuk mengulang kembali hafalan anda dari awal maka hal itu akan berat dan anda dapati diri anda telah melupakan hafalan yang lalu. Oleh karena itu, jalan terbaik (untuk menghafal) adalah dengan menggabungkan antara menambah hafalan dan muraja’ah.
Bagilah Al-Quran menjadi 3 bagian dimana setiap bagian terdiri dari 10 juz. Jika anda menghafal satu halaman setiap hari, maka ulangilah 4 halaman sebelumnya sampai anda menghafal 10 juz. Jika anda telah mencapai 10 juz, maka berhentilah selama sebulan penuh untuk muraja’ah dengan cara mengulang-ngulang 8 halaman dalam setiap harinya.
Setelah sebulan penuh muraja’ah, maka mulailah kembali untuk menambah hafalan yang baru baik satu atau dua halaman setiap harinya tergantung kemampuan serta barengilah dengan muraja’ah sebanyak 8 halaman dalam sehari. Lakukan ini sampai anda menghafal 20 juz. Jika anda telah mencapainya, maka berhentilah dari menambah hafalan baru selama 2 bulan untuk mengulang 20 juz. Pengulangan ini dilakukan dengan mengulang 8 halaman setiap hari.
Setelah 2 bulan, mulailah kembali menambah hafalan setiap hari sebanyak satu sampai dua halaman dengan dibarengi muraja’ah/pengulangan 8 halaman sampai anda menyelesaikan seluruh Al-Qur’an.
Jika anda telah selesai menghafal seluruh Al-Qur’an, ulangilah 10 juz pertama saja selama satu bulan dimana setiap hari setengah juz. Kemudian ulangilah 10 juz kedua selama satu bulan dimana setiap hari setengah juz bersamaan dengan itu ulangilah pula 8 halaman dari 10 juz pertama. Kemudian ulangilah 10 juz terakhir selama satu bulan dimana setiap hari setengah juz bersamaan dengan itu ulangilah pula 8 halaman dari 10 juz pertama dan 8 halaman dari 10 juz kedua.
Bagaimana cara memuraja’ah/mengulang Al-Quran seluruhnya jika saya telah menyelesaikan system muraja’ah diatas?
Mulailah dengan memuraja’ah Al-Qur’an setiap hari sebanyak 2 juz. Ulangilah sebanyak 3 kali setiap hari hingga anda menyelesaikan Al-Qur’an setiap 2 minggu sekali. Dengan melakukan metode seperti ini selama satu tahun penuh, maka –insya Allah- anda akan dapat memiliki hafalan yang mutqin/kokoh.
Apa yang harus dilakukan setelah menyelesaikan hafalan Al-Qur’an dalam satu tahun?
- Setelah setahun mengokohkan hafalan Al-Qur’an dan muraja’ahnya, jadikanlah Al-Qur’an sebagai wirid harian anda sampai akhir hayat sebagaimana Rasulullah صلى الله عليه وسلم menjadikannya sebagai wirid harian. Adalah wirid Rasulullah dengan membagi Al-Qur’an menjadi 7 bagian sehingga setiap 7 hari Al-Qur’an dapat dikhatamkan. Berkata Aus bin Hudzaifah رحمه الله: Aku bertanya pada sahabat-sahabat Rasulullah – صلى الله عليه وسلم – tentang bagaimana mereka membagi Al-Qur’an (untuk wirid harian). Mereka berkata: 3 surat, 5 surat, 7 surat, 9 surat, 11 surat, dan dari surat Qaf sampai selesai. (HR. Ahmad). Yaitu maksudnya mereka membagi wirid Al-Quran sebagai berikut:
- Hari pertama: membaca surat “al fatihah” hingga akhir surat “an-nisa”,
- Hari kedua: dari surat “al maidah” hingga akhir surat “at-taubah”,
- Hari ketiga: dari surat “yunus” hingga akhir surat “an-nahl”,
- Hari keempat: dari surat “al isra” hingga akhir surat “al furqan”,
- Hari kelima: dari surat “asy syu’ara” hingga akhir surat “yaasin”,
- Hari keenam: dari surat “ash-shafat” hingga akhir surat “al hujurat”,
- Hari ketujuh: dari surat “qaaf” hingga akhir surat “an-naas”.

Wirid Rasulullah – صلى الله عليه وسلم – di singkat oleh para ulama dengan perkataan: فمي بشوق (famii bisyauqi). Dimana setiap huruf dari kata ini merupakan surat awal dari kelompok surat yang dibaca setiap hari.
Bagaimana membedakan antara ayat-ayat mutasyaabih/mirip di dalam Al-Qur’an?
Cara yang paling afdhal jika anda mendapati 2 ayat yang mirip adalah dengan membuka mushaf pada setiap ayat yang mirip tersebut, lalu perhatikanlah perbedaan diantara kedua ayat tersebut kemudian berikanlah tanda yang dapat mengingatkan anda akan perbedaan itu. Lalu ketika anda memuraja’ah, perhatikanlah perbedaan yang anda tandai sebelumnya beberapa kali hingga anda mantap menghafal tentang kemiripan dan perbedaan diantara keduanya.
Kaidah-kaidah dan batasan-batasan dalam menghafal Al-Qur’an
o Wajib bagi anda menghafal dengan bantuan seorang ustadz/syeikh untuk membenarkan bacaan anda
o Hafallah 2 halaman setiap hari. Satu halaman setelah Subuh, dan satu halaman lagi sesudah Ashar atau sesudah Maghrib. Dengan cara ini, maka anda akan mampu menghafal Al-Qur’an seluruhnya dengan mutqin/kokoh dalam waktu satu tahun. Adapun jika anda menambah hafalan diatas 2 halaman setiap hari maka hafalan anda akan lemah disebabkan semakin banyaknya ayat yang harus dijaga..
o Hendaklah menghafal dari surat An-Naas sampai Al-Baqarah karena hal tersebut lebih mudah. Namun setelah selesai menghafal seluruh Al-Quran, hendaklah muraja’ah anda dimulai dari surat Al-Baqarah sampai An-Naas
o Hendaklah menghafal dengan menggunakan satu cetakan mushaf karena hal ini dapat menolong anda dalam memantapkan hafalan dan meningkatkan kecepatan dalam mengingat posisi-posisi ayat serta awal dan akhir setiap halaman Al-Qur’an.
o Setiap orang yang menghafal dalam 2 tahun pertama biasanya masih mudah kehilangan hafalannya. Masa ini dinamakan dengan Marhalah Tajmi’ (fase pengumpulan). Janganlah bersedih atas mudahnya hafalan anda hilang atau banyaknya kekeliruan anda. Karena memang fase ini merupakan fase cobaan yang sulit. Dan waspadalah, karena syaithan akan mengambil kesempatan ini untuk menggoda anda agar berhenti dari menghafal Al-Qur’an. Maka janganlah perdulikan rasa was-was syaithan tersebut dan teruskan menghafal karena sesungguhnya itu adalah harta yang sangat berharga yang tidak diberikan pada setiap orang.